CERPEN “Ketika Aruna Tak Lagi Bercahaya”

ARUNA 2023

Oleh : Muttaqin Kholis Ali

CERPEN MANDAILING – Di hadapan pematang sawah, Aruna duduk termenung. Sudah lebih dua puluh menit ia memandang hamparan hijau itu, meski matanya fokus ke depan, namun pikirannya melayang ke sana kemari.

Beberapa kali ia menghela napas berat. Tampak gurat sedih dan putus asa di wajahnya yang kurus karena kekurangan gizi. Sebetulnya Aruna merupakan gadis manis yang menawan, bila saja ia memiliki sedikit waktu untuk memperhatikan penampilannya.

Aruna memiliki dua bola mata hitam pekat yang begitu jernih. Hanya dengan sekali pandang, orang-orang akan tenggelam di dalamnya. Wajahnya kurus namun tak terlalu ceking. Alis matanya lebat seperti semut beriringan. Hidungnya mancung dengan bibir yang tipis. Ketika tersenyum, sungguh sangat indah. Rambutnya bergelombang sepundak dengan warna kulit hitam manis, bunga desa, sebutan Aruna di kampungnya.

Aruna anak kelima dari lima bersaudara. Tiga perempuan dan dua laki-laki. Sayang, kedua abangnya telah pergi menghadap Allah Swt. ketika masih balita. Tersisa dia dan dua kakak perempuannya. Saulina dan Dalila.

Saulina berusia 22 tahun, sedang Dalila berusia 20 tahun. Bapak mereka sudah meninggal dua belas tahun yang lalu. Ketika peristiwa itu terjadi, keluarga mereka benar-benar hancur lebur dan jatuh pada keterpurukan. Anak-anak yang masih sangat kecil, ditambah sang umak yang tidak siap ditinggal pergi pasangan hidupnya.

Seringkali, umak hanya duduk diam termenung di depan pintu rumah. Bila ia teringat pada Pak Lokot, mendiang suaminya, langsung saja ia menangis sesegukan. Membuat ketiga putrinya turut bersedih namun tidak tahu harus berbuat apa.

Ketika umak dibujuk, tangisnya menjadi-jadi. Alhasil, tidak ada yang mampu membujuk umak. Tubuhnya yang sehat mulai sering sakit-sakitan. Bila demikian, ia tidak akan mampu melakukan apapun, bahkan untuk makan saja ia tak minat.

Baca juga:Polres Madina Tangkap Penumpang Travel Bawa Sabu Dan Dipidana 20 Tahun Penjara

Tubuhnya sumakin kurus tak terurus. Padahal usianya belum masuk kepala empat. Seandainya umak sadar bahwa sikapnya membuat hidup ketiga putrinya semakin memprihatinkan.

Saulina, putri tertua, harus berbesar hati tidak menyelesaikan pendidikan sekolah dasar demi membantu ekonomi keluarga. Begitu juga dengan Dalila, yang hanya berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah dasar.

Nda naporlu sikola I ! Apalagi hamu adaboru do. Malo mambaca dot maretong, madung mai. Ma cukup i. Annon na get marbagas do amu. Karejo pe marorot daganak dot marmasak do. Jadi, ben ahadei sikola ginjang-ginjang,” ujar Umak

Waktu itu, kala Dalila ingin melanjutkan Pendidikan ke tingkat SMP. Saulina berbesar hati menerima kenyataan. Bahwa memang di kampung mereka, sebuah Desa kecil di kaki Gunung Sorik Marapi, tidak banyak perempuan yang berhasil menyelesaikan pendidikan.

Jangankan kuliah, bisa tamat SMA saja sudah sangat luar biasa. “Tapi aku mau sekolah, Mak,” Bukan ke sawah panas-panasan ikut kerja dengan Umak! gusar Dalila.

Ia memang terkenal lebih lantang dalam menyuarakan isi hati, dibanding kedua saudara perempuannya. “Pola inda tu saba, giot mangan aha dibaen ho umak dohot kakakmu, anggimu, Iambang ho do langa naro do epeng i ngen langitan,”

Umak semakin gusar memandang Dalina. Saulina mencoba memenangkan umak. Mengelus punggung perempuan yang melahirkannya itu berulang kali dengan penuh kelembutan.

Lila tidak boleh seperti itu, Dek,” ujar Saulina menengahi.

Aku benci Umak. Setelah Bapak tidak ada, Umak sumakin pemarah. Suka ngatur hidup kita. Tidak boleh sekolah, tidak boleh bermain, tidak boleh membaca sampai larut malam. Lalu, kita harus kerja sepanjang hari, Nyapu, masak, mencuci, menjemur kain, nimba air, semuanya sudah kita lakukan, Kak! Tapi Umak tidak pernah puas.

Baca Juga:Perpisahan SMAN 3 Panyabungan Penuh Suasana Haru

Harus ke sawah ikut manyuan, mamuro, sampai manyabi! Tubuh kita dari hari ke hari hitam legam, Kak. Capeknya luar biasa! Dalila mengeluarkan isi hatinya.

Kapan keluarga kita bisa keluar dari kemiskinan kalau seperti ini terus-menerus. Dalila memandang Umak dan Saulina bergantian. Sedangkan Aruna hanya meringkuk di sudut ruangan, mendengar percakapan mereka penuh kesedihan.

Pokoknya Aruna harus lebih baik hidupnya dibanding kita. Kalau Umak tidak bisa melakukan itu, aku akan berjuang untuk adikku,” ucap Dalila lantang.

Tahun demi tahun berganti nama. Perjuangan tidak akan selalu memperoleh hasil sesuai harapan. Adakalanya kita jatuh hingga titik paling dasar. Untuk bangkit, susahnya minta ampun.

Saat ini, Saulina telah menikah dan memiliki tiga orang. Sang suami memboyongnya ke Bogor.

Di sana, mereka kerja serabutan. Apa saja dilakukan asal halal. Awalnya, Saulina menolak pindah ke Bogor. Terlalu jauh. Apalagi dengan kondisi umak yang belum baik-baik saja.

Pergilah, Kak. Raih kebahagianmu! Aku akan menjaga umak. Lagian Kak Dalila juga tinggal tak jauh dari sini,” ucap Aruna meyakinkan.

Berbeda dengan Dalila, yang masa mudanya mampu bersuara lantang. Kini, ia sama seperti perempuan berusia sama dengannya. Menikah, lalu memiliki buah hati.

Hidup sederhana di kampung halaman. Bekerja dari pagi hingga sore hari di sawah, namun hasilnya hanya cukup makan untuk hari itu saja. Begitu seterusnya. Membuat fisiknya jauh lebih tua dibanding usianya.

Aruna sekarang sudah tumbuh menjadi seorang remaja cantik, ia menjadi siswi paling pintar di SMA, dari kelas X sampai XII, Aruna selalu jadi langganan juara umum.

Tidak hanya prestasi di sekolah, Aruna juga tampil di berbagai kompetisi yang diadakan pemerintah dan pihak lembaga swasta. Ia bersyukur bisa tiba di titik ini. Perjuangan yang tak mudah, demi menggapai mimpi menjadi seorang sarjana.

Aruna tergolong pendiam, namun semangat belajarnya nomor satu. Sepulang sekolah, ia masih harus bekerja di sawah, mencuci dan menyetrika baju tetangga, bahkan memasak kerupuk untuk dititip di warung terdekat. Semua itu dilakukan agar ia bisa sekolah setinggi mungkin.

Baca Juga:Bayi Kembar 3 Lahir di HUT Kabupaten Madina

Ah, baen aha de sikola Aruna? Paloja-lojaon dei. Marbagas ma ho songoni. Ma salapan bolas taon ma umurmu. Nangkon ma ginjang tu angan-anganmu,” tukas Bu Ratna, pemilik warung tempat Aruna menitip kerupuk sekaligus bouk Aruna yang selalu membandingkan Aruna dengan Laras putri sulungnya.

Aruna hanya tersenyum, tak ingin membalas ucapan perempuan paruh baya itu. Sudah sering ia mendengar kalimat demikian. Bahwa sebagai seorang perempuan, tak perlu memiliki impian tinggi, sebab ujung-ujungnya akan menjadi seorang istri dan ibu.

Kalaupun kuliah, belum tentu meraih kesuksesan. Apalagi sarjana pengangguran ada di mana-mana.

Tetapi, Aruna bukanlah mereka.

Nasib seseorang pun berbeda-beda. Bagaimana mungkin ia menyerah sebelum berjuang. Ia tak ingin seperti kedua kakaknya. Mereka yang sedari awal mencintai bangku pendidikan, harus pasrah dengan takdir.

Mak, Aruna ingin kuliah,” tukas Aruna duduk tepat di samping perempuan yang melahirkannya itu.

Umak tidak menjawab, namun kristal bening di kedua bola matanya luruh satu demi satu. Maafin Aruna, Mak. Tapi Aruna pengen kuliah. Kasih Aruna restu, Mak. Bantu Aruna meraih mimpi, ucap Aruna dengan air mata tertahan.

Bagaimana pun umak, tetaplah umak. Orang yang Aruna sayangi.

Aruna, naginjang tu do nipimu, Inang,” jawab Umak kemudian.

Umak ingin hidupku sama seperti Kak Saulina dan Kak Dalila?

Memang les songoni ma hidup nita adaboruon.”

Inda, Mak. Ita nda tola pasrah tu keadaan. Allah sajo manyuru hita torus marusaho. So hidup mur ma denggan,”

Marsyukur ko tamatma SMA. Madung mai, Aruna,”

Aruna memiliki semangat menggebu. Ia percaya bahwa kuliah akan membuat dirinya menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Memiliki pola pikir lebih kritis, keterampilan meningkat, yang otomatis peluang untuk memperoleh pekerjaan yang layak pun lebih besar.

Ia belajar lebih keras dari biasanya. Tujuannya satu, agar ia mampu melanjutkan pendidikan dengan bantuan beasiswa. Sebab tak mungkin meminta tolong perihal biaya pada umak, apalagi kedua kakaknya.

Tak hanya belajar, Aruna juga sumakin rajin bekerja. Ia melakukannya dengan penuh suka cita. Tak apa ia berhemat demi tercapainya sebuah impian. Tak apa ia tidak memiliki waktu untuk bermain. Tak apa .

Waktu tidur yang singkat, lama-kelamaan membuat tubuh Aruna menyerah sebelum waktunya. Darah merah acap kali keluar dari kedua lubang hidung. Semakin dibiarkan, semakin deras. Penyakit TBC yang tidak sempurna pengobatannya itu telah semakin parah merusaki paru-paru Aruna.

Ya Allah kuatkan aku! Kuatkan aku! Aku hanya ingin meraih mimpi menjadi seorang sarjana,” gumam Aruna dalam hati sembari menyeka darah yang terus menetes kala ia mengerjakan tugas sekolah di malam itu.

Tiba-tiba, hujan lebat melanda Kabupaten Mandailing Natal, badai angin disertai petir yang menggelegar. Membuat masyarakat memilih meringkuk dibalik selimut. Umak yang kala itu ingin meminta tolong diambilkan air minum pada Aruna, mendapati gadis remajanya tidur di kasur yang telah melengkung.

Sejurus kemudian umak coba mengusap kepala Aruna, tak ada reaksi. Umak mencoba membelai pipi Aruna, mengira anak gadisnya tertidur sangat pulas, terasa dingin, dengan hati-hati ia mencoba memaksa membuka mata kemudian menyentuh nadi Aruna.

Umak terdiam, lemas kemudian terkulai jatuh, anak gadis kesayangannya sudah tak bernyawa dengan sebuah buku harian dalam dekapannya.

Arunaaaa! Arunaaaa! Arunaaa,” pekik Umak menyahat hati memecah kesunyian malam.

Malam itu menjadi malam terakhir Aruna menulis semua cita-cita dan impiannya di buku harian lusuh pemberian sang kakak, Dalila.

Di lembar terakhir buku itu tampak sebuah tulisan singkat “UI, UGM, UNAND, UNP, UNIMED, USU, Ahh… Andai saja satu bangku disitu ditakdirkan untukku.”

   Aruna 2023.

 

Ditulis Oleh : Muttaqin Kholis Ali

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: